Sabtu, 12 September 2015

ESAI FILM ANIMASI





NASIB FILM ANIMASI INDONESIA DI NEGERI SENDIRI
Film animasi sudah tidak asing lagi di Indonesia. Film yang digemari anak-anak, remaja bahkan dewasa kini berkembang pesat di Indonesia. Alasannya karena film ini terkesan lucu, karakter setiap tokoh berbeda-beda tiap film dan lebih imajinatif.
Animasi telah dibuat pada tahun 1919 pertamakalinya di negara Amerika. Perkembangan animasi sebenarnya telah meluas ke Indonesia. Ironisnya, Indonesia hanya terkenal sebagai tempat produksi industri film animasi impor, bukan sebagai tempat produksi industri film animasi negeri sendiri. Justru, film animasi yang beredar di Indonesia didominasi oleh film animasi buatan Jepang dan Amerika bahkan Malaysia seperti, Naruto, Ben Ten, dan Boboboi.
Hasil karya animasi anak bangsa sebenarnya telah mulai ditunjukkan pada awal tahun 70an. Beberapa karya yang terkenal adalah Batu Setahun, Trondolo, Timun Mas yang disutradarai Suryadi alias Pak Raden (animator Indonesia pertama). Pada tahun 1998 mulai bermunculan film-film animasi yang berbasis cerita rakyat seperti Bawang Merah dan Bawang Putih, dan “Petualangan si Kancil. Pembuatan animasi terus berlanjut sampai sekarang walaupun hanya menghasilkan beberapa film animasi yang pernah ditayangkan di televisi seperti “Dongeng Aku dan Kau, Mengapa Domba Bertanduk dan Berbuntut Pendek, dan “Kabayan dan Liplap. Selain itu, ada Film animasi yang berjudul “Meraih Mimpi yaitu animasi 3D pertama di Indonesia yang ditayangkan di layar lebar dan juga sudah berhasil go internasional dan didistribusikan ke berbagai negara mulai dari Singapura, Korea, dan Rusia.
Walaupun telah diakui Internasional, sayangnya film animasi Indonesia dari masa ke masa seperti hanya jalan di tempat di negeri sendiri. Pasalnya, film animasi Indonesia tidak dihargai dengan layak oleh masyarakat. Bukan hanya itu, kurangnya promosi, kurangnya anggaran biaya, dan tidak adanya perhatian dari instansi terkait juga menjadi faktor macetnya produksi film animasi. Industri animasi Indonesia masih belum sepenuhnya mendapat dukungan dari pebisnis lokal seperti televisi dan layar lebar sehingga film animasi sulit didistribusikan yang berakibat pada sulitnya bersaing dengan animasi impor. Hal ini juga berakibat pada anak-anak yang masih berada dalam masa-masa pembangunan karakter dan ironisnya merupakan konsumen tetap film-film animasi tersebut, kini kian jauh dari nilai-nilai budaya bangsa dan justru semakin mengidolakan negara-negara asal film-film animasi dan tokoh favorit mereka.
Selain faktor-faktor tersebut, masalah yang tidak kalah penting yaitu tentang ide cerita dari sebuah animasi itu sendiri. Hal pertama yang membuat animasi Indonesia tidak diminati publik yaitu dari segi cerita yang tidak menarik. Cerita yang disajikan terlalu monoton, dan tidak menunjukkan keunikan film animasi itu. Sebenarnya, dengan mengangkat cerita hikayat, dongeng dan fabel yang disajikan dalam bentuk film animasi tentu akan memiliki daya tarik tersendiri. Selain untuk meningkatkan peminat masyarakat Indonesia juga bisa dijadikan wadah edukasi sastra lisan bagi anak-anak Indonesia agar mereka mengenal cerita asli budaya sendiri bukan budaya asing.
Sungguh disayangkan, animasi Indonesia yang sudah memiliki cerita menarik, tempat produksi dan faktor produksi lain yang sudah memadai kehilangan keseimbangan hanya karena pengisi suara yang tidak cocok dengan karakter tokoh. Bukan hanya mimik wajah yang harus diperhatikan dalam pembuatan film animasi, namun juga suara yang cocok dengan karakter tokoh dapat mengekspresikan suatu rasa, baik itu senang dan sedih sehingga film animasi akan terasa lebih hidup dan menarik. Hal ini juga membuktikan bahwa pengisi suara berperan penting dalam kesuksesan sebuah film animasi.  
Animasi Indonesia tentu tidak akan jalan di tempat saja selamanya. Oleh karena itu, agar animasi Indonesia dapat bersaing dengan animasi kelas dunia, memang bukan hanya talenta yang dibutuhkan namun masyarakat Indonesia sudah saatnya untuk mulai belajar mengenal produksi film animasi. Ini artinya bukan hanya aspek kemampuan membuat animasi saja yang dibutuhkan melainkan juga bagaimana merancang sebuah produksi dengan berbagai faktor di dalamnya termasuk fasilitas-fasilitas yang mendukung. Hal ini tentu sangat terkait dengan anggaran biaya dan perhatian dari instansi terkait untuk mendukungnya terutama masyarakat Indonesia sendiri.




  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar