NASIB FILM ANIMASI
INDONESIA DI NEGERI SENDIRI
Film animasi sudah tidak asing lagi di Indonesia. Film yang digemari
anak-anak, remaja bahkan dewasa kini berkembang pesat di Indonesia. Alasannya
karena film ini terkesan lucu, karakter setiap tokoh berbeda-beda tiap film dan
lebih imajinatif.
Animasi
telah dibuat pada tahun 1919 pertamakalinya di negara Amerika. Perkembangan
animasi sebenarnya telah meluas ke Indonesia. Ironisnya, Indonesia hanya terkenal sebagai tempat produksi
industri film animasi impor, bukan sebagai tempat produksi industri film
animasi negeri sendiri. Justru, film animasi yang beredar di Indonesia didominasi
oleh film animasi buatan Jepang dan Amerika bahkan Malaysia seperti, Naruto,
Ben Ten, dan Boboboi.
Hasil
karya animasi anak bangsa sebenarnya telah mulai ditunjukkan pada awal tahun
70an. Beberapa karya yang terkenal adalah Batu
Setahun, Trondolo, Timun Mas yang disutradarai Suryadi alias Pak Raden
(animator Indonesia pertama). Pada tahun 1998 mulai
bermunculan film-film animasi yang berbasis cerita rakyat seperti “Bawang Merah dan Bawang
Putih”, dan “Petualangan si Kancil”. Pembuatan animasi terus berlanjut sampai sekarang
walaupun hanya menghasilkan beberapa film animasi yang pernah ditayangkan di
televisi seperti “Dongeng Aku dan Kau”, “Mengapa Domba Bertanduk
dan Berbuntut Pendek”,
dan “Kabayan dan
Liplap”. Selain itu, ada Film animasi yang
berjudul “Meraih Mimpi”
yaitu animasi 3D pertama di Indonesia yang ditayangkan
di layar lebar dan juga sudah berhasil go
internasional dan didistribusikan ke
berbagai negara mulai dari Singapura, Korea, dan Rusia.
Walaupun telah diakui Internasional, sayangnya film animasi Indonesia dari
masa ke masa seperti hanya jalan di tempat di negeri sendiri. Pasalnya, film
animasi Indonesia tidak dihargai dengan layak oleh masyarakat. Bukan hanya itu,
kurangnya promosi, kurangnya anggaran biaya, dan tidak adanya perhatian dari
instansi terkait juga menjadi faktor macetnya produksi film animasi. Industri
animasi Indonesia masih belum sepenuhnya mendapat dukungan dari pebisnis lokal
seperti televisi dan layar lebar sehingga film animasi sulit didistribusikan
yang berakibat pada sulitnya bersaing dengan animasi impor. Hal ini juga
berakibat pada anak-anak yang masih berada dalam masa-masa pembangunan karakter
dan ironisnya merupakan konsumen tetap film-film animasi tersebut, kini kian
jauh dari nilai-nilai budaya bangsa dan justru semakin mengidolakan
negara-negara asal film-film animasi dan tokoh favorit mereka.
Selain faktor-faktor tersebut, masalah yang tidak kalah penting yaitu
tentang ide cerita dari sebuah animasi itu sendiri. Hal pertama yang membuat
animasi Indonesia tidak diminati publik yaitu dari segi cerita yang tidak
menarik. Cerita yang disajikan terlalu monoton, dan tidak menunjukkan keunikan
film animasi itu. Sebenarnya, dengan mengangkat cerita hikayat, dongeng dan
fabel yang disajikan dalam bentuk film animasi tentu akan memiliki daya tarik
tersendiri. Selain untuk meningkatkan peminat masyarakat Indonesia juga bisa
dijadikan wadah edukasi sastra lisan bagi anak-anak Indonesia agar mereka
mengenal cerita asli budaya sendiri bukan budaya asing.
Sungguh disayangkan, animasi Indonesia yang sudah memiliki cerita menarik,
tempat produksi dan faktor produksi lain yang sudah memadai kehilangan
keseimbangan hanya karena pengisi suara yang tidak cocok dengan karakter tokoh.
Bukan hanya mimik wajah yang harus diperhatikan dalam pembuatan film animasi,
namun juga suara yang cocok dengan karakter tokoh dapat mengekspresikan suatu
rasa, baik itu senang dan sedih sehingga film animasi akan terasa lebih hidup
dan menarik. Hal ini juga membuktikan bahwa pengisi suara berperan penting
dalam kesuksesan sebuah film animasi.
Animasi
Indonesia tentu tidak akan jalan di tempat saja selamanya. Oleh karena itu, agar
animasi Indonesia
dapat bersaing dengan animasi kelas dunia,
memang bukan hanya talenta
yang dibutuhkan namun masyarakat
Indonesia sudah
saatnya untuk mulai belajar mengenal produksi
film animasi. Ini artinya bukan hanya aspek kemampuan membuat animasi saja yang dibutuhkan melainkan juga
bagaimana merancang sebuah produksi dengan berbagai faktor di dalamnya termasuk fasilitas-fasilitas yang mendukung. Hal ini
tentu sangat terkait dengan anggaran biaya dan perhatian dari instansi terkait
untuk mendukungnya terutama masyarakat Indonesia sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar