Sabtu, 12 September 2015

JUDULNYA KRITIK SASTRA



GADIS ICARUS (THE ICARUS GIRL)
Novel “Gadis Icarus” karya Helen Oyeyemi ini mengangkat tema tentang psikologis seorang anak berdarah campuran Inggris-Nigeria. Tema ini mengangkat cerita tentang kejiwaan seorang anak yang sering memandang sesuatu dengan sebuah khayalan yang berlebihan. Tema ini terbukti dengan kutipan berikut:                                                                   
“Suatu kali Jess pernah menghitung bahwa rata-rata ia mengamuk di sekolah seminggu sekali. Ia saat itu tertawa agak malu, berpikir, tak heran teman-temanku mengaggapku aneh. Apa mereka memang sudah bosan?”(hal.107)
Tema psikologis ini dibarengi dengan cerita mistis dimana cerita mistis ini lebih terasa daripada psikologis seorang anak. Bahkan semakin lama cerita ini berlanjut, psikologis seorang anak tidak terlalu dinampakkan lagi, yang digantikan dengan cerita yang berbumbu mistis, seperti kutipan berikut:                                                                                                          
“Jess menarik tangan temannya, sadar ia dan Tillly Tilly berdiri tepat di depan Mrs. Mclain, dan mereka tak bisa begitu saja lari tanpa memperburuk situasi” dikuatkan juga dengan kutipan berikut, “Jess menoleh ke Tilly Tilly untuk melihat apakah Tilly Tilly juga menyadari keanehan ini, bahwa Mrs. Mclain entah bagaimanana tidak melihat mereka”(hal.120).
Boleh saja menambah cerita mistis dalam cerita ini untuk membuat pembaca penasaran dengan cerita ini, namun perlu diperhatikan pula agar tema psikologis lebih dikuatkan sehingga tidak menimbulkan persepsi yang berbeda dari pembaca.
Bukan hanya tema psikologis yang kurang kuat, watak tokoh dalam cerita ini juga banyak yang kurang diperjelas seperti watak Siobhan yang menjadi teman Jess digambarkan sebagai tokoh yang periang dan mudah bergaul, seharusnya Siobhan sebagai sahabat Jess satu-satunya dalam dunia nyata lebih ditonjolkan sebagai penyemangat Jess agar kesinambungan antar tokoh terjaga. Watak ayah Jess juga memiliki porsi yang sedikit, dimana ayah Jess sebagai orang terdekat Jess hanya sedikit berperan dalam novel ini. Selain penggambaran watak yang kurang jelas, terdapat watak tokoh yang paling menarik yaituTilly-Tilly, dimana ia mempunyai sifat yang berubah-ubah dan penuh misteri sehingga membuat cerita ini semakin menarik dan semakin membuat penasaran bagi pembaca.
Novel “Gadis Icarus” ini juga menggambarkan cara penokohannya kurang berfariasi, lebih banyak menceritakan penokohan melalui jalan pikiran tokoh saja, seharusnya perlu adanya cara penggambaran tokoh dalam bentuk yang lain agar cerita tidak terkesan monoton. Hal ini bisa dilihat berdasarkan kutipan berikut:                                                                                                                 
“Jess lebih memilih lemari dan tempat tertutup daripada taman, tapi ia suka gundukan-gundukan rumput cokelat mengering yang kadang menyembunyikan cacing saat hujan, ia juga suka tanaman misterius (rumput liar, kata ayahnya) yang membungkuk dan melingkar keluar masuk pagar”(hal.12).
Bahasa yang digunakan dalam novel ini banyak menggunakan bahasa yang sederhana, tidak terlalu banyak menggunakan bahasa puitis walaupun ada beberapa bagian dalam cerita ini yang kurang bisa dipahami sehingga terkadang pembaca awam harus membaca berulang kali untuk memahami maksud cerita pada bagian seperti berikut:                        
“ Jess harus berkonsentrasi, rasanya seakan-akan ia sedang dituangkan, seperti cairan manis yang menempel disemua permukaan yang ditemuinya...”(hal.240).
Suasana tergambar dengan baik dengan rangkaian kata yang tersusun baik dalam novel ini. Seolah-olah pembaca dapat ada dalam cerita dan bisa merasakan apa yang dirasakan tokoh. Selain itu latar tempat ada penggambarannya yang kurang jelas seperti pada saat ia di rumah lalu tiba-tiba ia sudah berada di taman hiburan.
Latar waktu dalam cerita ini berurutan, kejadian satu dengan yang lain saling berkesinambungan sehingga memudahkan pembaca untuk memahami isi cerita. Namun ada juga latar waktu dalam novel ini yang sedikit kurang jelas yaitu pada saat Jess di rumah kakeknya setelah ketakutan saat membaca tulisan “HalO JessY” di rumah anak laki-laki, ia kemudian bertemu dengan Tilly-Tilly namun tidak ada penggambaran yang jelas tentang latar waktu. Hal ini ditunjukkan dengan kutipan berikut:
“ Ada seseorang di sana, dikoridor itu, memandangnya, mengetahui namanya, menulis namanya.lalu pergi begitu saja”(hal.57). Lalu dilanjutkan dengan kutipan berikut:
“ Jess sedang berbaring di lantai semen di ujung bawah tangga di tengah rumah, tapi ia tidak dapat memandang langit, karena sedang berkonsentrasi pada cercah hangat matahari diwajahnya. Ia bisa merasakan bulu matanya sedikit bergetar. Ia merasakan seberkas cahaya itu menghilang seakan-akan bayangan seseorang menghalanginya, merasakan sebuah tangan mengusap pipinya lalu ditarik kembali. Ia menggumamkan protes tak jelas dan membuka matanya”(hal.58).
Novel ini mempunyai alur yang mudah diikuti oleh pembaca karena menggunakan alur maju. Urutan kejadian digambarkan dengan jelas dalam setiap babnya sehingga memudahkan pemahaman cerita bagi pembaca awam. Ketegangan terbangun sedikit demi sedikit seiring dengan perubahan karakter TillyTilly dari seorang gadis manis menjelma posesif dan kejam terbukti dengan kutipan berikut:                                                                                 
“ Kedua tangan Tilly dibelakang punggung Siobhan (di dalamnya? Di atasnya? Oh, jangan masuk ke dalamnya, jangan biarkan TillyTilly memasukkan tangannya ke tubuh temanku) Siobhan terengah dan tertawa, mereka semua masuk ke dapur dan Siobhan /Tilly tahu laci tempat menyimpan pisau (tentu saja! Tentu saja!) dan Jess tahu ia benci mereka berdua saat Siobhan mulai menyakiti dirinya sendiri dengan mata pisau, karena semua ini salah Jess, ia juga berdarah dan ia tak bisa menghentikannya”(hal.345).
Puncak konflik yang tercipta memang tidak terduga membuat pembaca penasaran akan akhir cerita ini. Namun, penulis seharusnya tidak membiarkan pembaca menunggu terlalu lama akan kemunculan konflik ini. Hal ini bisa mengakibatkan pembaca merasa bosan dan tidak melanjutkan membaca novel ini karena terkesan monoton. Seharusnya penulis memberikan kejutan-kejutan disetiap babnya agar pembaca merasa selalu penasaran akan akhir cerita novel ini.
Konflik keagamaan tidak begitu ada dalam novel ini. Padahal, konflik keagamaan ini akan membuat cerita lebih terkesan, tidak monoton dan kelogisan cerita akan terungkap sedikit demi sedikit.
Nilai kebudayaan Nigeria yang dituangkan dalam novel ini ikut mendukung cerita ini. Penggambaran kebudayaan Nigeria, terdapat pada kutipan berikut:                                                     
“ Selama dua Minggu terakhir, kakeknya memakai pakaian putih dan kostum tradisional agdaba berwarna emas, dengan peci putih berbordir di kepalanya, ekor kostumnya yang memanjang disampirkan ke lengan kanan, sementara tangan kirinya memegang tongkat kayu tipis yang hanya menjadi aksesori, karena kakeknya dapat berjalan dengan baik tanpa tongkat”(hal.74).
Sayangnya, penggambaran kebudayaan Nigeria hanya sedikit yang dituangkan dalam novel ini. Seharusnya, porsi kebudayaan ini lebih banyak agar dapat menjawab kejadian yang membingungkan bagi pembaca yang berkaitan dengan kemisteriusan tokoh TillyTilly. Selain itu, kebudayaan Inggris tidak ditonjolkan, padahal dengan menggabungkan dua kebudayaan ini, cerita akan semakin  menarik dan nilai estetikanya akan sampai pada pembaca.
Akhir cerita novel ini, tidak menjelaskan penyakit yang diderita Jess. Pembaca menjadi menerka-nerka penyakit yang diderita Jess. Seharusnya penjelasan penyakit Jess dituliskan dalam novel ini sehingga akan tercipta kelogisan dalam cerita.
Amanat yang disampaikan tergantung pada persepsi masing-masing pembaca karena di cerita ini tidak dijelaskan secara menyeluruh. Namun, inti amanat novel ini yaitu mencari sahabat sejati itu sulit, jadi kita harus pintar-pintar memilih sahabat agar kita tidak salah jalan. Amanat yang tersampaikan pada novel ini seperti kutipan berikut:                                                      
 “ Dua orang lapar tidak seharusnya berteman. Kalau mereka berteman, mereka akan saling memakan. Hal yang sama juga terjadi kalau salah satu lapar dan satunya kenyang. Mereka tak bisa berteman, karena yang lapar akan memakan yang kenyang. Kau mengerti?”.
Sayangnya dalam cerita ini, amanat untuk nilai agama tidak disampaikan. Novel ini kurang memberikan amanat yang berhubungan dengan keagamaan. Sehingga akhir cerita kurang begitu berkesan tanpa adanya nilai keagamaan yang dapat diambil dalam cerita ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar