Novel
“Gadis Icarus” karya Helen Oyeyemi ini mengangkat tema tentang psikologis
seorang anak berdarah campuran Inggris-Nigeria. Tema ini mengangkat cerita
tentang kejiwaan seorang anak yang sering memandang sesuatu dengan sebuah
khayalan yang berlebihan. Tema ini terbukti dengan kutipan berikut:
“Suatu kali Jess pernah
menghitung bahwa rata-rata ia mengamuk di sekolah seminggu sekali. Ia saat itu
tertawa agak malu, berpikir, tak heran
teman-temanku mengaggapku aneh. Apa mereka memang sudah bosan?”(hal.107)
Tema
psikologis ini dibarengi dengan cerita mistis dimana cerita mistis ini lebih
terasa daripada psikologis seorang anak. Bahkan semakin lama cerita ini
berlanjut, psikologis seorang anak tidak terlalu dinampakkan lagi, yang
digantikan dengan cerita yang berbumbu mistis, seperti kutipan berikut:
“Jess menarik tangan
temannya, sadar ia dan Tillly Tilly berdiri tepat di depan Mrs. Mclain, dan
mereka tak bisa begitu saja lari tanpa memperburuk situasi” dikuatkan juga
dengan kutipan berikut, “Jess menoleh ke Tilly Tilly untuk melihat apakah Tilly
Tilly juga menyadari keanehan ini, bahwa Mrs. Mclain entah bagaimanana tidak
melihat mereka”(hal.120).
Boleh
saja menambah cerita mistis dalam cerita ini untuk membuat pembaca penasaran
dengan cerita ini, namun perlu diperhatikan pula agar tema psikologis lebih
dikuatkan sehingga tidak menimbulkan persepsi yang berbeda dari pembaca.
Bukan
hanya tema psikologis yang kurang kuat, watak tokoh dalam cerita ini juga banyak
yang kurang diperjelas seperti watak Siobhan yang menjadi teman Jess
digambarkan sebagai tokoh yang periang dan mudah bergaul, seharusnya Siobhan
sebagai sahabat Jess satu-satunya dalam dunia nyata lebih ditonjolkan sebagai
penyemangat Jess agar kesinambungan antar tokoh terjaga. Watak ayah Jess juga
memiliki porsi yang sedikit, dimana ayah Jess sebagai orang terdekat Jess hanya
sedikit berperan dalam novel ini. Selain penggambaran watak yang kurang jelas,
terdapat watak tokoh yang paling menarik yaituTilly-Tilly, dimana ia mempunyai
sifat yang berubah-ubah dan penuh misteri sehingga membuat cerita ini semakin
menarik dan semakin membuat penasaran bagi pembaca.
Novel
“Gadis Icarus” ini juga menggambarkan cara penokohannya kurang berfariasi,
lebih banyak menceritakan penokohan melalui jalan pikiran tokoh saja,
seharusnya perlu adanya cara penggambaran tokoh dalam bentuk yang lain agar
cerita tidak terkesan monoton. Hal ini bisa dilihat berdasarkan kutipan
berikut:
“Jess lebih memilih lemari
dan tempat tertutup daripada taman, tapi ia suka gundukan-gundukan rumput
cokelat mengering yang kadang menyembunyikan cacing saat hujan, ia juga suka
tanaman misterius (rumput liar, kata ayahnya) yang membungkuk dan melingkar
keluar masuk pagar”(hal.12).
Bahasa
yang digunakan dalam novel ini banyak menggunakan bahasa yang sederhana, tidak
terlalu banyak menggunakan bahasa puitis walaupun ada beberapa bagian dalam
cerita ini yang kurang bisa dipahami sehingga terkadang pembaca awam harus
membaca berulang kali untuk memahami maksud cerita pada bagian seperti
berikut:
“ Jess harus
berkonsentrasi, rasanya seakan-akan ia sedang dituangkan, seperti cairan manis
yang menempel disemua permukaan yang ditemuinya...”(hal.240).
Suasana
tergambar dengan baik dengan rangkaian kata yang tersusun baik dalam novel ini.
Seolah-olah pembaca dapat ada dalam cerita dan bisa merasakan apa yang
dirasakan tokoh. Selain itu latar tempat ada penggambarannya yang kurang jelas
seperti pada saat ia di rumah lalu tiba-tiba ia sudah berada di taman hiburan.
Latar
waktu dalam cerita ini berurutan, kejadian satu dengan yang lain saling
berkesinambungan sehingga memudahkan pembaca untuk memahami isi cerita. Namun
ada juga latar waktu dalam novel ini yang sedikit kurang jelas yaitu pada saat
Jess di rumah kakeknya setelah ketakutan saat membaca tulisan “HalO JessY” di
rumah anak laki-laki, ia kemudian bertemu dengan Tilly-Tilly namun tidak ada
penggambaran yang jelas tentang latar waktu. Hal ini ditunjukkan dengan kutipan
berikut:
“ Ada seseorang di
sana, dikoridor itu, memandangnya, mengetahui namanya, menulis namanya.lalu
pergi begitu saja”(hal.57). Lalu dilanjutkan dengan kutipan berikut:
“
Jess sedang berbaring di lantai semen di ujung bawah tangga di tengah rumah,
tapi ia tidak dapat memandang langit, karena sedang berkonsentrasi pada cercah
hangat matahari diwajahnya. Ia bisa merasakan bulu matanya sedikit bergetar. Ia
merasakan seberkas cahaya itu menghilang seakan-akan bayangan seseorang menghalanginya,
merasakan sebuah tangan mengusap pipinya lalu ditarik kembali. Ia menggumamkan
protes tak jelas dan membuka matanya”(hal.58).
Novel
ini mempunyai alur yang mudah diikuti oleh pembaca karena menggunakan alur
maju. Urutan kejadian digambarkan dengan jelas dalam setiap babnya sehingga
memudahkan pemahaman cerita bagi pembaca awam. Ketegangan terbangun sedikit
demi sedikit seiring dengan perubahan karakter TillyTilly dari seorang gadis
manis menjelma posesif dan kejam terbukti dengan kutipan berikut:
“ Kedua tangan Tilly
dibelakang punggung Siobhan (di dalamnya?
Di atasnya? Oh, jangan masuk ke dalamnya, jangan biarkan TillyTilly memasukkan
tangannya ke tubuh temanku) Siobhan terengah dan tertawa, mereka semua masuk ke
dapur dan Siobhan /Tilly tahu laci tempat menyimpan pisau (tentu saja! Tentu
saja!) dan Jess tahu ia benci mereka berdua saat Siobhan mulai menyakiti
dirinya sendiri dengan mata pisau, karena semua ini salah Jess, ia juga
berdarah dan ia tak bisa menghentikannya”(hal.345).
Puncak
konflik yang tercipta memang tidak terduga membuat pembaca penasaran akan akhir
cerita ini. Namun, penulis seharusnya tidak membiarkan pembaca menunggu terlalu
lama akan kemunculan konflik ini. Hal ini bisa mengakibatkan pembaca merasa
bosan dan tidak melanjutkan membaca novel ini karena terkesan monoton.
Seharusnya penulis memberikan kejutan-kejutan disetiap babnya agar pembaca
merasa selalu penasaran akan akhir cerita novel ini.
Konflik
keagamaan tidak begitu ada dalam novel ini. Padahal, konflik keagamaan ini akan
membuat cerita lebih terkesan, tidak monoton dan kelogisan cerita akan
terungkap sedikit demi sedikit.
Nilai
kebudayaan Nigeria yang dituangkan dalam novel ini ikut mendukung cerita ini.
Penggambaran kebudayaan Nigeria, terdapat pada kutipan berikut:
“ Selama dua Minggu
terakhir, kakeknya memakai pakaian putih dan kostum tradisional agdaba berwarna emas, dengan peci putih
berbordir di kepalanya, ekor kostumnya yang memanjang disampirkan ke lengan
kanan, sementara tangan kirinya memegang tongkat kayu tipis yang hanya menjadi
aksesori, karena kakeknya dapat berjalan dengan baik tanpa tongkat”(hal.74).
Sayangnya,
penggambaran kebudayaan Nigeria hanya sedikit yang dituangkan dalam novel ini.
Seharusnya, porsi kebudayaan ini lebih banyak agar dapat menjawab kejadian yang
membingungkan bagi pembaca yang berkaitan dengan kemisteriusan tokoh
TillyTilly. Selain itu, kebudayaan Inggris tidak ditonjolkan, padahal dengan
menggabungkan dua kebudayaan ini, cerita akan semakin menarik dan nilai estetikanya akan sampai
pada pembaca.
Akhir
cerita novel ini, tidak menjelaskan penyakit yang diderita Jess. Pembaca
menjadi menerka-nerka penyakit yang diderita Jess. Seharusnya penjelasan
penyakit Jess dituliskan dalam novel ini sehingga akan tercipta kelogisan dalam
cerita.
Amanat
yang disampaikan tergantung pada persepsi masing-masing pembaca karena di
cerita ini tidak dijelaskan secara menyeluruh. Namun, inti amanat novel ini
yaitu mencari sahabat sejati itu sulit, jadi kita harus pintar-pintar memilih
sahabat agar kita tidak salah jalan. Amanat yang tersampaikan pada novel ini
seperti kutipan berikut:
“ Dua orang lapar tidak seharusnya berteman.
Kalau mereka berteman, mereka akan saling memakan. Hal yang sama juga terjadi
kalau salah satu lapar dan satunya kenyang. Mereka tak bisa berteman, karena
yang lapar akan memakan yang kenyang. Kau mengerti?”.
Sayangnya
dalam cerita ini, amanat untuk nilai agama tidak disampaikan. Novel ini kurang
memberikan amanat yang berhubungan dengan keagamaan. Sehingga akhir cerita
kurang begitu berkesan tanpa adanya nilai keagamaan yang dapat diambil dalam
cerita ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar