Sabtu, 12 September 2015

JUDULNYA CERPEN

KASIH SEORANG SAHABAT
Di ruang perpustakaan yang sepi, hanya seorang penjaga perpustakaan dan beberapa murid di dalamnya. Setiap individu berkutat dengan kegiatan masing-masing. Penjaga perpustakaan sedang sibuk membolak-balik halaman buku dan sesekali menulis sesuatu didalamnya sampai sebuah suara menghentikan kegiatannya. Penjaga perpustakaan yang biasa dipanggil pak Nuri menoleh ke sumber suara. Dia lirik sekilas wajah orang di depannya yang tidak lain seorang murid yang sudah tidak asing di matanya.
“Ada apa?”
“Ini pak. Saya sudah minta tanda tangan setiap orang di kelas saya”. Murid itu menyerahkan selembar kertas kepada pak Nuri.
Pak Nuri menatap murid itu. Dia menghela napas.  “Maaf ya Vi, kamu tidak bisa meminjam buku ini”.
Kening murid itu berkerut, wajahnya merah dan peluh mengalir diwajahnya.
“Semester ini tidak ada peminjaman buku. Kalau kamu ingin meminjam buku, pinjam saja semester depan”. Jelas pak Nuri seakan tahu apa yang dipirkan Vivi.
“Kenapa bapak gak bilang dari tadi? Tahu gini saya gak perlu capek-capek minta tanda tangan orang sekelas. Tahu gak sih pak, saya ini bener-bener capek! Nggak di kelas, nggak di perpus, sama aja. Bikin kesel!
Vivi berjalan ke kursi kemudian menggebrak meja didepannya. Semua orang yang semula berkutat dengan buku mereka masing-masing terkejut mendengar suara gaduh yang dibuat Vivi. Mereka memperhatikan Vivi dan mulai berdesas desus. Vivi yang merasa diperhatikan, melirik mereka dengan tajam. Mereka yang dilirik seperti itu, hanya bisa menelan ludah, tidak berani menatap Vivi yang tiba-tiba mengeluarkan aura yang mengerikan. Mereka pun segera mengalihkan perhatian dengan membaca buku, sedangkan Pak Nuri hanya bisa geleng-geleng sambil tersenyum saat melihat tingkah murid-murid tersebut.
Vivi merasa kepalanya sangat berat. Vivi tumpukan kepala pada kedua tangannya. Dia memejamkan mata mencoba menghilangkan rasa sesak di dada dengan wajahnya yang masih memerah dan peluh yang terus menetes. Di saat matanya tertutup, alam bawah sadarnya melihat sebuah pintu. Didekatinya pintu tersebut yang terlihat seperti pintu kemana saja kepunyaan Doraemon. Dia beranikan diri membuka pintu tersebut, seketika cahaya yang sangat terang merasuk ke mata menghantarkan impuls yang menyilaukan ke otak melalui saraf-saraf mata. Kemudian kejadian beberapa saat yang lalu terulang kembali.
Pagi yang cerah, di Sekolah Menengah Pertama. Vivi yang sudah melakukan aktivitas seperti biasa bersama seorang sahabatnya bernama Rima. Sebuah senyum terukir diwajah Vivi saat menyapa teman-temannya saat melewati teras kelas. Namun seketika senyum itu memudar saat seseorang menghampiri Vivi dengan senyuman dan tingkah khasnya.
“Hai Vivi sayang” sapa Bimbim dengan senyuman yang terus melekat diwajahnya disertai kerlingan mata yang mencoba menggoda Vivi.
“Waaa. Cie cie” teriak orang-orang di sekitar Vivi dan Bimbim.
Vivi hanya bisa menghela napas. Dia tidak menanggapi rayuan dan teriakan-teriakan disekitarnya. Kejadian seperti ini sudah biasa terjadi. Dia sudah tidak terkejut dan bisa dibilang kebal dengan tingkah teman-temannya karena hal tersebut sudah menjadi rutinitas wajib bagi Vivi. Dia merasa justru ada yang hilang jika hal tersebut tidak dilakukan.
“Hey. Sudahlah Rim, ke kelas yuk. Sebentar lagi masuk nih”
Tapi tidak ada jawaban dari Rima. Vivi pun menoleh ke samping. Dilihatnya Rima sedang berbincang-bincang dengan Adi. Mereka tersenyum bersama, entah apa yang mereka bicarakan, sepertinya asik pikir Vivi. Keinginan Vivi untuk masuk ke kelas semakin menggebu karena Vivi sudah tidak tahan lagi mendengar kicauan Bimbim, sang penakluk cintanya. Akhirnya, dentangan lonceng penyelamat menyelamatkan telinga Vivi yang sudah panas akibat ocehan Bimbim. Vivi pun segera masuk ke kelas. Saat Vivi melangkahkan kakinya ke dalam kelas, sesaat dia menoleh ke luar. Vivi dapat melihat dengan jelas Bimbim yang sedang mengerlingkan mata ke arahnya. Tidak hanya itu saja, Bimbim dengan berani berteriak di depan banyak orang yang membuat Vivi sangat malu.
“I Love You, Vivi! Nanti kita akan bertemu lagi. Bye!”
Vivi yang mendengar hal tersebut hanya bisa Sweatdrop. Wajahnya sangat merah.
“Ku pikir dia sudah tidak punya malu” kata Vivi dalam hatinya.
Waktu istirahat sepertinya bukan waktu luang untuk Vivi. Betapa tidak, waktu istirahat yang seharusnya dijadikan sebagai waktu untuk makan dan bersantai setelah otak berpikir tetapi justru menjadi waktu dimana Vivi harus bekerja keras. Tanggung jawabnya sebagai ketua OSIS membuat dia harus bolak balik dari kelas ke kantor. Bukan hanya itu saja, jabatan wakil ketua kelas yang disandangnya mengharuskan Vivi ke perpustakaan untuk mengurusi peminjaman buku. Maklum, ketua kelasnya memang tidak bertangung jawab untuk mengurusi kelas.
Keringat mulai membasahi wajah dan kerudung Vivi akibat berlarian menuju tiga tempat yaitu kelas, kantor, dan perpustakaan. Vivi pun mengatur napasnya yang tidak tersengal-sengal. Dia memutuskan untuk istirahat di perpustakaan sejenak menghilangkan penat tubuhnya. Tangannya dikibas-kibaskan di depan wajahnya berharap ada hembusan angin yang dapat menghilangkan kegerahannya. Belum sampai lima menit Vivi istirahat, tiba-tiba Desi menarik tangannya.
“Ada apa sih?”
“Rima”
“Memang Rima kenapa?”
“Udah ayo ikut aja. Nanti kamu juga bakalan tahu.”
Vivi menurut saja kepada Desi. Vivi khawatir, tidak biasanya Desi memanggilnya hanya untuk urusan Rima. Vivi berpikir, kemungkinan hanya masalah Rima dengan Adi.
Saat di kelas dilihatnya banyak kerumunan teman-teman centilnya di bangku depan. Vivi segera menerobos kerumunan itu dan didapatinya Rima dengan pipi lebam. Saat didekatinya, Rima semakin menundukkan kepala untuk menutupi pipinya yang membiru.
“Kenapa pipimu Rim?”
Tidak ada jawaban dari Rima. Dia tidak berani menjawab pertanyaan Vivi. Sedangkan Vivi yang tidak kunjung mendapat jawaban atas pertanyaannya, mengerutkan keningnya dan terus memandang intens kepada Rima.
“Hmm, coba ku tebak. Pasti ini gara-gara Adi, kan?”
Mengerti tidak ada respon dari Rima, Vivi bertanya kepada  Ira yang sedari tadi berada di samping Rima.
“Ra, kenapa pipi Rima bisa memar?”
“Mmm, itu. Tadi waktu Rima sama Adi, gak sengaja si Adi mukul Rima”
“Ckk. Sudah ku bilang berapa kali sih Rim? Jangan main sama Adi! Dia itu berandal! Lagi pula dia itu sudah punya pacar! Dia itu Cuma bohong sama kamu, kalau dia suka sama kamu Rim! Dia itu playboy, cap terasi! ”  
“Vi, udahlah. Jangan marah-marah terus! Mending kamu beliin aku es. Sakit nih pipiku. Aku juga makin sakit denger ocehanmu.”
“Ra, cepet beliin Rima minum! Aku lagi capek nih!”
“Loh, kok aku? Kamu aja. Aku malas jalan ke warung. Cuaca lagi panas lagi. Aku kan gak mau, kulitku yang bagus ini hitam dan kering gara-gara panas-panasan.” Jawab Ira dengan gaya centilnya.
Kemudian Ira melenggang pergi meninggalkan Vivi dan Rima. Kening Vivi serasa berkedut, perut pun serasa mual mendengar jawaban dan tingkah laku Ira seperti itu. Setelah selesai dengan pemikirannya tentang Ira, Vivi kembali menatap Rima.
“Tuh! Teman centil mu. Gak bisa diharapkan!”
Tiba-tiba Ira berteriak “ Rim, cepat ke kantor! Minta tugas sama bu Ida! Nanti kita malah kena hukum gara-gara gak belajar seperti kemarin!”
“Hey! Kamu ini gak punya perasaan ya! Teman lagi sakit, malah kamu suruh-suruh!” Teriak Vivi kepada Ira.
Semua orang yang ada di kelas menjadi objek amukan Vivi. Dia sudah terlanjur naik darah. Setelah puas marah-marah, Vivi pergi ke warung untuk membeli es. Berselang beberapa waktu, Vivi kembali ke kelas. Terdengar isakan dan pertanyaan-pertanyaan dari dalam kelas. Vivi segera masuk untuk melihat apa yang terjadi.
“Kamu kenapa nangis, Rim? Pipi mu sakit ya? Udah, jangan nangis lagi ya. Maafin aku. Aku tadi tidak sengaja.” Kata Adi
“Gak papa kok. Aku nangis bukan karena pipi ku yang sakit, tapi hatiku. Aku nangis karena Vivi marah-marah terus padaku. Aku udah maafin kamu kok” Jelas Rima kepada Adi.  
Tiba-tiba sekantung plastik berisi es jatuh ke atas meja mengagetkan semua orang. Orang-orang memandang ke sumber es yang jatuh karena lemparan seseorang. Mereka melihat Vivi dengan wajah merah dan peluh berjatuhan. Vivi tersenyum kecut memandang mereka. Kemudian Vivi melangkah ke sebuah meja dengan kertas di atasnya. Diambilnya kertas tersebut, kemudian Vivi pergi ke perpustakaan meninggalkan mereka yang ada di dalam kelas terdiam seribu bahasa.
Kejadian masa lalu yang berputar di otak Vivi perlahan menghilang. Dia masih berada di perpustakaan. Mata Vivi terbuka ketika dirasakannya seseorang memanggilnya sambil mengguncang-guncangkan badannya. Dilihatnya seorang laki-laki separuh baya memandanginya. Dia tahu, laki-laki itu adalah penjaga perpustakaan. Tanpa basa-basi, Vivi keluar meninggalkan perputakaan untuk kembali ke kelas karena dirasanya pelajaran akan segera dimulai.
Lonceng tanda pulang sekolah berdentang. Murid-murid Sekolah Menengah Pertama berhamburan keluar kelas. Rasa letih setelah seharian beraktivitas di sekolah membuat mereka ingin segera pulang ke rumah untuk beristirahat, begitu pula dengan Vivi. Dia sudah jenuh berada di sekolah. Diambilnya kunci motor yang berada di tas Rima. Namun, saat Vivi ingin mengambil kunci, Vivi menemukan sebuah buku kecil seperti diary. Dibukanya buku itu. Dia baca lembaran-lembaran kertas berisikan curahan hati sang pemilik. Dia tersenyum ketika membaca tulisan yang berisikan kejadian hari ini, berhubungan dengan dirinya. Tiba-tiba Rima datang menghampiri Vivi yang membuat Vivi terkejut. Vivi tergesa-gesa menyembunyikan buku yang dipegangnya.
“Mmm, Vi. Aku, aku ingin minta maaf untuk yang tadi” kata Rima lirih dengan gugup.
“Hmm. Apa? Aku tidak dengar.” Kata Vivi sambil mencondongkan telinganya ke arah Rima agar dapat mendengar dengan jelas.
“Aku minta maaf, Vi” kata Rima dengan suara serak. Dia menahan tangis.
“Iya, iya aku maafin. Dasar cengeng” jawab Vivi sambil tersenyum.
Rima yang mendapat maaf dari Vivi merasa sangat senang. Rima pun ikut tersenyum. Mereka kemudian melangkahkan kaki ke luar kelas. Mereka ingin segera pulang agar bisa istirahat, melupakan sejenak peristiwa yang terjadi di sekolah. Mereka hanya akan menjadikan ini sebagai kenangan yang tidak dapat dilupakan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar